Keblinger

Keblinger

Conforti, Pendidik Imam Misionaris

| Rabu, 28 Desember 2011
Conforti, Pendidik Imam Misionaris




Mgr Guido Maria Conforti

MAJALAH HIDUP KATOLIK - Sekilas, tak ada yang istimewa dari sosok Guido Maria Conforti. Ia adalah imam yang lahir dari keluarga petani. Sejak kecil, ia sakit-sakitan, terlebih karena gangguan pada bronkhitisnya.

Namun, hal inilah yang membuatnya makin bersemangat memulai dan membangun karya-karya besar. Dan, pada 23 Oktober tahun ini, Guido Conforti dikanonisasi menjadi Santo.

Serikat Misionaris Xaverian (SX) adalah salah satu buah impian dan cita-citanya. Para imam SX telah membuktikan kesanggupannya berkarya di wilayah megapolitan, seperti Jepang hingga negara-negara terbelakang di Benua Afrika.

Guido Conforti lahir pada awal musim semi, 30 Maret 1865, di daerah pertanian dekat Sungai Po, Provinsi Parma, Italia. Ia lahir dari pasangan suami istri petani, Rinaldo Conforti dan Antonia Adorni. Antonia Adorni adalah seorang wanita yang lembut, penuh kasih sayang, dan selalu peduli pada orang miskin.

Sejak kecil, Guido mendapat didikan tentang segala sesuatu yang berbau rohani dari ibunya. Setiap Minggu, Antonia mengajaknya pergi ke gereja di Ravadese. Kepada Guido kecil, Antonia menunjukkan salib dan berkata, “Lihatlah, betapa Yesus sangat menderita!” Rupanya, kata-kata ini menjadi inspirasi bagi Guido untuk makin mencintai Yesus dan mulai meyakini panggilannya menjadi imam.

Saat Guido mengungkapkan keinginannya menjadi imam, ibunya sangat senang. Akan tetapi, ayahnya tidak. Mendengar keinginan putranya, Rinaldo marah. Ia sangat membutuhkan Guido untuk meneruskan usaha pertanian keluarganya. Di samping itu, pada waktu itu imam bukanlah sosok yang dihormati dan dipandang orang. Anak-anak biasa menertawakan para pastor, karena mereka memakai jubah hitam. Di mata anak-anak, mereka terlihat seperti burung gagak. Sementara orang-orang dewasa sering bergumam, “Ada karung arang”, saat mereka berpapasan dengan pastor.

Rinaldo tak ingin anaknya diperlakukan seperti itu oleh masyarakat. Namun, ketika ia mendengar isak tangis Guido, hatinya luluh. Pada Oktober 1876 Guido resmi menjadi siswa seminari. Pada saat berusia 14 tahun, Guido mendapat sebuah buku tentang kisah Santo Fransiskus Xaverius. Tokoh inilah yang akhirnya mendapat tempat di hatinya dan menjadi idola.

Guido sangat terpesona pada karya besar Santo Fransiskus, sekaligus ia merasa terharu dengan cerita tentang saat-saat terakhir Santo Fransiskus menghembuskan napas terakhirnya dengan tangan terulur ke Negeri Cina. Seolah, tokoh idola ini menunjukkan penyesalan, karena tidak dapat pergi ke Cina dan memperkenalkan Kristus di negeri itu.

Pertanyaan demi pertanyaan selalu bergema di benaknya setiapkali ia membaca kisah ini. Tidak adakah seseorang yang mau melanjutkan karya misi Santo Fransiskus? Tidak adakah orang yang dapat meneruskan dan mewujudkan harapan Santo Fransiskus yang belum dapat terlaksana? Mungkinkah dia, Guido, yang akan menjadi orang itu? Demikian bunyi gema-gema tersebut.

Menjadi misionaris akhirnya menjadi cita-cita Guido. Ia sangat terobsesi untuk pergi ke tempat lain dan ke negara lain untuk memperkenalkan Kristus dan mempertobatkan banyak jiwa. Karena Santo Fransiskus Xaverius berasal dari Serikat Yesus (SJ), Guido memberanikan diri menulis surat kepada para pembesar SJ dan mengajukan keinginan menjadi misionaris. Namun, ia menerima jawaban yang penuh ketidakpastian. Para pembesar SJ akan mempertimbangkan cita-citanya ini, tetapi menjadi Yesuit tidak otomatis menjadi misionaris.

Akhirnya, Guido menjadi imam Diosesan. Menjelang tahbisannya, Guido terjatuh di kamarnya dan pingsan. Mukanya pucat. Kejadian seperti ini sering menyerang dirinya. Uskup pun menunda tahbisannya dan menunggu perkembangan kondisi fisiknya.

Guido akhirnya sembuh, berkat doa Beata Anna Maria Carolina Adorni, pendiri Kongregasi Karya Gembala yang Baik dan Suster-Suster Abdi Maria yang Tak Bernoda. Beata Anna Maria berkata, “Berbesar hatilah, Perawan Maria menunggu untuk memberikan anugerahnya. Anda akan menjadi imam dan gembala.”

Setelah sembuh, Guido ditahbiskan menjadi imam Diosesan pada 22 September 1888 pada usia 23 tahun. Setelah didaulat menjadi pemimpin seminari, ia kembali memikirkan cita-citanya menjadi misionaris. Guido berpikir, jika kondisi dan keadaan dirinya tidak memungkinkannya menjalankan tugas misi, maka ia akan mencari dan membina orang-orang yang dapat melanjutkan harapan Santo Fransiskus Xaverius, dengan mendirikan serikat misionaris.

Guido menyampaikan keinginannya kepada Uskup Parma Mgr Andrea Miotti. Mgr Andrea menyambut positif rencananya. Guido diangkat menjadi penasihat uskup dan membeli sebuah rumah sebagai sarana pertama untuk mewujudkan cita-citanya. Pada usia 28 tahun ia mendapat persetujuan dari Paus untuk mendirikan sebuah serikat misionaris, April 1894. Pada Desember 1895, rumah yang ia beli di Jalan Borgo Leon d’Oro, oleh Uskup Parma yang baru Mgr Francesco Magani diberi nama “Seminari Emilia untuk Daerah-Daerah Misi Luar Negeri”.

Hingga sekitar 1897, para calon misionaris yang mengikuti pendidikan di rumah ini berjumlah 36 orang. Setahun kemudian, titik balik serikat misionaris ini dimulai dengan kedatangan Pastor Francesco Fogolla OFM, seorang misionaris yang bertugas di Cina, yang menceritakan pengalamannya menjalankan tugas misi di Cina. Kisahnya rupanya menarik hati dua orang anggota serikat misionaris, yaitu Pastor Caio Rastelli dan Frater Odoardo Manini.

Tahun 1899, dua orang muda ini berangkat ke Cina dengan Pastor Fogolla dengan tujuan Tai-Yuan, Ibu Kota Provinsi Shan-Si.

Setelah itu, Guido ditahbiskan menjadi Uskup Agung Ravenna. Tetapi, karena kondisi fisiknya yang lemah, ia memutuskan mengundurkan diri dari jabatannya dan kembali ke Parma untuk mendidik calon-calon misionaris. Di luar dugaan, ia malah didaulat kembali menjadi uskup menggantikan Uskup Parma, Mgr Francesco Magani.

Di tengah memburuknya kesehatan, Mgr Guido Conforti bersikeras pergi ke Cina menengok para misionaris didikannya yang berkarya di tempat itu. Semangatnya tak pernah surut. Begitu juga dengan Serikat Xaverian, serikat misionaris yang ia dirikan. Pemberontakan Boxer di Cina, pergolakan Fasis di Italia, dan situasi Perang Dunia I hingga II, beruntun dihadapi serikat ini. Namun, semangat Guido yang diamini dan diteladani para anggotanya membuat serikat ini tetap bertahan bahkan terus bertumbuh.


Santo Guido Maria Conforti 

• Oktober 1876: Masuk Seminari
• 22 September 1888: Ditahbiskan menjadi imam pada usia 23 tahun, kemudian ditugaskan menjadi Wakil Rektor Seminari Parma.
• Tahun 1890: Ditunjuk menjadi Rektor Seminari Parma, menggantikan Mgr Andreas Ferrari.
• Tahun 1895: Mengumpulkan 17 orang yang berminat menjadi calon imam misionaris
• November 1895: 17 calon imam misionaris mulai menjalani pendidikan di sebuah rumah, di Jalan Borgo del Leon d’Oro
• 3 Desember 1895: Serikat Xaverian diresmikan
• 4 Maret 1899: Pastor Caio Rastelli dan Frater Odoardo Manini, dua anggota Serikat Xaverian berangkat ke Tai-Yuan, Ibu Kota Provinsi Shan-si Cina, sebagai misionaris Serikat Xaverian yang pertama
• 12 Juni 1902: Ditahbiskan menjadi Uskup Agung Ravenna
• 12 Oktober 1904: Mengundurkan diri sebagai Uskup Agung Ravenna
• 14 November 1904: Ditunjuk sebagai Uskup (Agung) Koadjutor Parma, dan Uskup Agung Tituler Stauropolis
• 18 Januari 1904: Empat anggota Serikat Xaverian, yaitu Giuseppe Brambilla, Giovanni Sartori, Luigi Calza, dan Giovanni Bonardi, menjadi misionaris di Honan, Cina
• 12 Desember 1907: Menjadi Uskup Parma, dengan gelar Uskup Agung
• 5 November 1931: Mgr Guido Maria Conforti wafat
• 17 Maret 1996: Dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II, mendapat gelar Beato
• 23 Oktober 2011: Dikanonisasi oleh Paus Benediktus XVI, mendapat gelar Santo

R.B. Yoga Kuswandon
o

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2010 Bacaan Injil Harian