Keblinger

Keblinger

"Conforti Muda" di Jepang dan Kamerun

| Rabu, 28 Desember 2011

Frater Reynaldo Fulgentio Tardelly SX bersama kaum muda Katolik Kamerun.
HIDUPKATOLIK.com - Cita-cita dan idealisme Mgr Guido Maria Conforti tetap lestari sejak para misionaris Xaverian awal sampai kini. Mereka gigih dan teruji.

Kegigihan pada masa awal Xaverian berdiri benar-benar teruji. Perang Dunia I, guncangan peta politik, revolusi, dan resesi ekonomi pada 1930-an menghadapkan mereka pada berbagai kenyataan yang tidak mengenakkan dalam tugas perutusan. Nyawa pun menjadi taruhan, namun mereka tak gentar. Dengan situasi berbeda sekarang, apakah para Conforti muda masih segigih dahulu?

Gereja bonsai 

Misionaris Xaverian mulai berkarya di Jepang sejak 1949. Awalnya, beberapa misionaris terusir dari tanah misi Cina. Kemudian, mereka mengalihkan misi ke Jepang. Sekarang, di Negeri Sakura, ada 34 imam Xaverian, berkarya sebagai pastoral paroki merangkap mengelola sekolah Katolik, mengajar di sekolah menengah, menjadi dosen, pekerja seni, aktif di lembaga dialog antaragama, serta di pusat studi dan riset budaya (Asian Study Center).

Salah satunya, Alexander Denny Wahyudi SX, imam misionaris Xaverian Indonesia pertama. Ia dikirim SX Indonesia sebagai misionaris, untuk berkarya di Jepang. Dari 34 imam Xaverian di Jepang, 29 berkebangsaan Italia. Lima yang bukan Italia, dua dari Spanyol, satu Brasil, satu Meksiko, dan Alexander Denny dari Indonesia.

Pastor Alexander Denny Wahyudi bersama anak-anak saat mengikuti Summer Camp. [Dok Pribadi]

”Bahasa Italia menjadi pengantar dan digunakan menulis dokumen para Xaverian di Jepang.” Maka, sebelum tinggal di Jepang, pastor rekan Paroki Tetori di Kumamoto ini mendapat tugas belajar bahasa Italia di Ancona, Italia, selama sepuluh bulan. Gereja Katolik Jepang terdiri dari 16 keuskupan, dan semua dipimpin uskup berkebangsaan Jepang. Jumlah umat Katolik Jepang sekitar 450 ribu jiwa, ditambah 500 ribu warga Katolik asing dari Amerika Latin, Filipina, Indonesia, dan negara lain.

Gereja Katolik Jepang seperti bonsai dengan jumlah umat kecil, mayoritas ibu-ibu lansia, dan sulit diharapkan berkembang di masa depan. Kendalanya, faktor SDM terbatas. ”Ada satu keuskupan dengan umat hanya sekitar 5.000 orang. Di Keuskupan Agung Jakarta, paroki dengan 5.000 umat termasuk kecil,” jelasnya.

Di Jepang, satu imam bisa menangani beberapa gereja sekaligus, karena keterbatasan tenaga. Total imam asli Jepang berjumlah hanya sekitar 500 orang, berusia rata-rata 62 tahun, dan 1.000 imam misionaris berusia rata-rata 67 tahun, dari berbagai tarekat religius dan misi.

Kenyataan getir 

Di Jepang, satu paroki memiliki rata-rata 100-800 umat, namun dengan banyak gereja dan paroki. Pastor Denny menjelaskan, ”Kalau dihitung ada sekitar 25 paroki yang dilayani imam Xaverian, hingga satu imam harus hidup sendirian, dan tinggal di satu paroki yang relatif kecil itu.”

Jepang adalah negara misi bagi misionaris, karena sangat sedikitnya umat, yaitu sekitar 0,3 persen (450.000 orang) dari 127 juta penduduk yang ada. Budaya dan bahasa menjadi tantangan tersendiri, karena menuntut ketelatenan dan kesabaran ekstra. Selain itu, para misionaris asing harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tidak diterima dengan baik oleh masyarakat Jepang. Hingga kehadiran mereka tidak membawa banyak arti bagi perkembangan Gereja lokal.

Orang Jepang sulit menerima karya pewartaan Injil, karena nilai hedonis sangat kuat merasuk dalam kehidupan mereka. Selain itu, imam misionaris yang handal dan mampu mewartakan, serta mengembangkan karismanya sebagai misionaris juga kurang. Walau bermisi di Jepang dirasa sulit, dengan sedikit sekali harapan, Pastor Alexander Denny Wahyudi tetap teguh menghidupi panggilannya sebagai misionaris di negeri ini. ”Sampai kapan pun, saya siap untuk terus ditugaskan di Jepang,” tuturnya.

Selain di Jepang, misionaris Xaverian juga ada di Afrika. Frater Reynaldo Fulgentio Tardelly SX adalah frater Xaverian Indonesia yang berkarya di Kamerun. Banyak tantangan ia alami di tempat ini. Hidup sebagai misionaris di Afrika saat ini tidak lagi seperti dulu: paroki yang tenang, dikelilingi hutan dan pepohonan lebat, poliklinik, peternakan kecil.

Keluarga Kristus 

Luka yang ditinggalkan oleh perang saudara, kekerasan, dan konflik politik yang berkepanjangan di Afrika membuat para penduduknya membutuhkan terapi yang panjang dan kontinu. Gereja tetap menjadi aktor utama terapi, dengan karya biarawan-biarawati di sekolah, rumah sakit, poliklinik, pusat-pusat pendampingan kaum muda, dan pusat rehabilitasi anak-anak korban perang.

Menurut Frater Reynaldo Fulgentio Tardelly SX, Kamerun dikenal sebagai negara paling aman di Afrika Tengah. Kamerun masih hidup dalam demokrasi terpimpin di bawah rezim Paul Biya. Sepanjang jalan kota, hanya baliho dirinya yang terpajang, meski secara resmi terdapat belasan calon presiden.

”Satu di antara para calon itu Edith Kah Wallah, perempuan muda yang cerdas, yang sering dikatakan calon ‘bikinan’ media internasional yang ingin menggoyang rezim Paul Biya. Meski semua tahu, pemenang pemilu akan tetap sama dengan tahun-tahun lalu.”

Penduduk Kamerun dirundung ketakutan terhadap krisis yang tahun lalu dialami negara tetangga Pantai Gading.

Selain menangani terapi akibat cedera politik dan perang saudara, para misionaris masih harus berhadapan dengan maraknya praktik seks bebas, poligami, konflik antarsuku, mewabahnya sekte-sekte baru, serta gencarnya arus globalisasi yang menggempur kearifan budaya lokal. Pembangunan karakter melalui katekese menjadi poin penting yang terus diusahakan para misionaris.

Di tengah beribu tantangan dan situasi politik yang tidak menentu, Frater Reynaldo Fulgentio Tardelly bergeming. Ia tetap teguh berkarya. Impian Mgr Guido Maria Conforti menjadikan dunia ini sebagai satu keluarga dalam Kristus, menjiwai derap langkahnya untuk terus menghidupi panggilannya sebagai misionaris.


R.B. Yoga Kuswandono

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2010 Bacaan Injil Harian