Keblinger

Keblinger

Menghindari Ketertarikan (Attraction) yang Fatal

| Kamis, 12 Januari 2012

Tulisan ini merupakan ringkasan dari artikel berseri yang didasarkan pada buku Men, Women and The Mystery of Love. Penulis aslinya, Edward P. Sri memberikan berbagai pemahaman yang mendalam tentang hubungan pria-wanita seperti yang terdapat pada buku Love and Responsibility yang ditulis oleh beato Yohanes Paulus II. Saya akan merangkum tulisan berseri tersebut dalam bahasa Indonesia. Artikel aslinya bisa dilihat disini.

Seorang pria tertarik pada kepribadian yang hangat dari seorang wanita, senyumnya yang manis dan kebaikannya kepada orang lain. Ketertarikan dasar seperti ini sering terjadi diantara pria dan wanita, bahkan terjadi cukup cepat : Seorang wanita melihat seorang pria berdoa di Gereja kemudian memikirkannya sepanjang hari; Pria dan wanita yang merupakan teman selama beberapa bulan akan saling mengalami ketertarikan satu sama lain baik itu secara emosional atau secara fisik.

Dalam buku Love and Responsibility, Yohanes Paulus II menganalisa anatomi ketertarikan. Apa yang sungguh terjadi ketika pria dan wanita saling tertarik satu sama lain?

Anatomi Ketertarikan

Pada tingkat yang paling dasar, tertarik kepada seseorang berarti dianggap oleh seseorang sebagai sebuah kebaikan (hal. 74). Untuk mengalami ketertarikan pada orang lain, berarti ia memahami suatu nilai dalam pribadi orang itu (seperti kecantikan, kepribadian, dst) dan merespon terhadap nilai tersebut. Ketertarikan tersebut melibatkan indra, pikiran, kehendak, emosi dan keinginan (desire) kita.

Ketertarikan terjadi begitu mudah karena adanya dorongan seksual, yaitu kecenderungan untuk mencari seseorang yang berbeda jenis kelamin. Dorongan seksual mengarahkan seseorang secara khusus pada kualitas fisiologis dan psikologis dari pribadi yang berbeda jenis kelamin – tubuh dan maskulinitas atau feminitas mereka. Yohanes Paulus II menyebut kualitas fisik dan psikologis ini sebagai “nilai seksual” seorang pribadi.

Karenanya, seseorang tertarik dengan lawan jenis dalam 2 cara : secara fisik dan emosional. Pertama, pria tertarik secara fisik kepada tubuh wanita, dan sebaliknya. Ketertarikan ini disebut sensualitas tubuh.

Kedua, pria tertarik secara emosional pada feminitas wanita, dan sebaliknya. Hal ini disebut ketertarikan sentimentalitas emosional. Pada artikel ini, kita akan fokus pada ketertarikan sensual yang dialami pria dan wanita satu sama lain.

Indra dan Sensualitas

Sensualitas berkaitan dengan nilai seksual yang dihubungkan pada tubuh pribadi lawan jenis. Ketertarikan ini tidaklah buruk karena dorongan seksual dimaksudkan untuk menarik kita bukan semata-mata kepada tubuh, tapi kepada tubuh seorang pribadi. Karenanya reaksi sensual awal diarahkan pada persatuan personal (bukan sekedar persatuan fisik), dan berperan sebagai bahan dalam membenuk cinta yang autentik bila di integrasikan dengan aspek-aspek cinta yang lebih tinggi dan mulia seperti kehendak baik (good will), persahabatan, kebajikan (virtue), dan komitmen pemberian diri (self-giving commitment) (hal. 108).

Ketertarikan sensual ini dapat menuntun pada bahaya besar. Pertama, “sensualitas sendiri bukanlah cinta dan dapat dengan meudah menjadi yang bertentangan dengannya” (hal. 108). Alasannya adalah karena sensualitas bisa dengan mudah jatuh ke dalam utilitarianisme. Hanya ketika sensualitas dialami, kita mengalami tubuh pribadi lain sebagai “objek yang berpotensi memunculkan kenikmatan.” Kita mereduksi pribadi hanya pada kualitas fisik – tubuhnya saja. Dan kita melihatnya sebagai objek yang memberikan kesenangan dari kualitas tersebut.

Hal yang paling tragis adalah ketika keinginan sensual (sensual desire) yang diarahkan pada persatuan pribadi dengan orang berbeda jenis kelamin, bisa mencegah kita dari mencintai pribadi tersebut. Contohnya, pria yang secara aktif mencari tubuh wanita sebagai sarana untuk memenuhi kepuasan seksnya. Ia hanya fokus pada nilai seksual – khususnya kesenangan yang didapat dari nilai tersebut – sampai pada titik dimana ketertariakn sensual ini mencegahnya untuk merespon pada nilai tersebut sebagai seorang pribadi. Oleh karena itulah, sensualitas adalah buta bagi tiap pribadi dan “sensualitas memiliki orientasi consumer – ia diarahkan terutama kepada sebuah ‘tubuh’ : ia menyentuh pribadi hanya secara tidak langsung, dan cenderung menghindari kontak langsung” (hal. 105)

Mencintai Coklat?

Kedua, sensualitas juga bisa gagal dalam memahami keindahan sejati tubuh. Keindahan atau kecantikan dialami melalui kontemplasi, bukan keinginan untuk mengeksploitasi. Kontemplasi pada keindahan mendatangkan kedamaian dan sukacita, sedangkan “sikap konsumer” yang mengekploitasi objek demi kesenangan mendatangkan ketidaksabaran, kegelisahan, dan keinginan yang kuat untuk kepuasan.

Mari kita menggunakan analogi. Seseorang memiliki kesempatan melihat karya ‘seniman coklat’. Ia menampilkan berbagai coklat yang berbentuk kapal, bunga, burung, menara dan bangunan. Semuanya terbuat dari coklat, coklat hitam dan coklat putih.

Terdapat dua sikap yang bisa kita arahkan terhadap bentuk-bentuk coklat tersebut. Di satu sisi, seseorang bsia melihatnya sebagai karya seni, mengagumi keindahan dan membiarkan dirinya dibawa oleh kebesarannya, proporsi coklat yang sempurna, detailnya yang sulit dimengerti, kemahiran pembuatnya, merasa kagum dan heran bahwa masterpiece tersebut dibuat dari gula dan coklat.

Di sisi lain, seseorang bisa melihatnya sebagai makanan untuk dilahap – coklat yang lezat akan memuaskan rasa lapar! Sikap ini mereduksi karya coklat tersebut sebagai objek semata-mata untuk dieksploitas demi kesenangan individu. Disini, sensualitas agal memahami tubuh manusia sebagai masterpiece ciptaan Allah yang indah, karena ia mereduksi tubuh sebagai objek untuk dieksploitasi untuk memuaskan keinginan sensual individu.

Michelangelo dan Playboy

Pornografi dan karya seni yang mengambarkan tubuh telanjang memiliki perbedaan. Pornografi pada majalah playboy, tidak menarik perhatian orang pada keindahan tubuh manusia, melainkan ia menarik perhatian pada tubuh sebagai objek untuk digunakan dalam memuaskan hasrat seksual seseorang. Pornografi mereduksi tubuh manusia pada nilai seksual tubuh. Sebaliknya, karya seni yang menggambarkan tubuh telanjang manusia sebagai sesuatu yang indah tidak mereduksi pribadi manusia, namun membawa pada kontemplasi misteri pribadi manusia sebagai masterpiece dalam ciptaan Allah. Karya seni menuntun individu pada kontemplasi keindahan, kebenaran, dan kebaikan tubuh manusia, sedangkan pornografi membawa seseorang untku mereduksi tubuh manusia sebagai objek yang dapat dieksploitasi. Tidak banyak orang akan jatuh dalam dosa karena melihat lukisan Michelangelo yang menggambarkan Adam dan Hawa di kapel Sistine, tapi akan ada banyak pria yang jatuh pada dosa karena pikiran bernafsu ketika melihat gambar-gambar di majalah Playboy!

Diperbudak oleh Sensualitas

Sensualitas, jika dibiarkan tanpa diperiksa begitu saja, akan menjadi budak bagi segala hal yang menstimulasi keinginan sensual kita. Contohnya, ketika seorang pria bertemu wanita yang berpakaian dengan cara tertentu, ia tidak akan bisa melihatnya tanpa berpikiran kotor terhadapnya. Ketika ia melihat gambar wanita di TV, ia tidak bisa melawan untuk tidak melihatnya, karena ia sangat mendambakan nilai seksual wanita itu dan ingin menikmati kesenangan yang didapat dengan melihatnya.

Dengan budaya Amerika yang secara konstan membombardir orang-orang dengan gambar seksual yang mengeksploitasi sensualitas, orang diajak untuk fokus pada tubuh saja. Dan dengan mudah orang diperbudak, dibawa dari satu nilai seksual pada nilai seksual lainnya. Seperti yang dikatakn Yohanes Paulus II, sensualitas itu sendiri “berubah-ubah, berbalik dimanapun ia menuemukan nilai, kapanpun ‘objek yang berpotensi menimbulkan kenikmatan’ muncul.” (hal. 108)

“Aku Bisa Melihat, Tapi Tidak Bisa Menyentuh”

Paus memperingatkan bahwa seseorang tidak bisa menggunakan tubuh pribadi lain bahkan ketika pribadi tersebut tidak hadir secara fisik. Ia tidak perlu melihat, mendengar, atau menyentuh untuk mengeksploitasi tubuh seseorang demi memperoleh kesenangan sensual. Contohnya : Pria bisa menggunakan memori dan imajinasinya untuk “berhubungan dengan ‘tubuh’ wanita yang tidak hadir secara fisik, mengalami nilai tubuh itu sejauh ia membetuk ‘objek yang mungkin memberikan kenikmatan’” (hal. 108-109)

Pria juga sering membenarkan tindakan mereka dengan berkata “tidak ada salahnya untuk berpikiran kotor /mesum tentang wanita, aku tidak melukai siapapun ketika melakukannya!” Bahkan pria yang telah menikah juga bisa berpikir “Aku tidakberzinah ketika melihat wanita dengan cara ini [maksudnya dengan berpikiran mesum/kotor]. Aku bisa melihat, hanya tidak bisa menyentuhnya”. Menanggapi hal tersebut, kita harus mengingat perkataan Kristus : “Every one who looks at a woman lustfully has already committed adultery with her in his heart” – Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya. (Mat 5 : 28)

Singkatnya, Yohanes Paulus II menekankan bahwa sensulitas saja bukanlah cinta. Ia bisa menjadi “bahan mentah” untuk perkembangan cinta sejati. Tapi kerinduan pada nilai seksual tubuh harus dilengkapi dengan elemen-elemen cinta lainnya yang lebih mulia, seperti kehendak baik, persahabatan, kebajikan, komitmen total, cinta yang memberi diri (self-giving love, tema ini akan didiskusikan di artikel selanjutnya). Jika sensualitas tidak diintegrasikan dengan elemen cinta lainnya, keinginan sensual akan merusak sebuah hubungan. Faktanya ia bisa menghancurkan cinta antara pria dan wanita, dan dapat mencegah cinta berkembang diantara pria dan wanita.
(Bagi yg tdk bisa buka link, Repost : Gereja Katolik)

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © 2010 Bacaan Injil Harian